Hampir 14 tahun yang lalu saya hamil, tentu saya dan mantan suami bahagia.
Semua perasaan campur aduknya kehamilan pertama saya rasakan walau pun kondisinya saat itu saya ada di negara Pak Mantan, sekitar 10,529 mil (16.944.78km) dari Jakarta, kebayang ya jauhnya. Jauh dari keluarga, tidak punya teman sama sekali. Beberapa teman di sana dulu tinggalnya beda negara bagian dan bayangkan dulu kan belum ada WhatsApp ya. Jadi komunikasi saya dengan keluarga di Indonesia lewat telfon seminggu sekali dan Yahoo Messenger chat.
Semuanya baik-baik saja awalnya…
Seorang teman yang kebetulan tinggal di kota yang dekat dan keluarga suaminya berasal dari kota tempat saya tinggal merencanakan baby shower, sebuah tradisi umum di Amerika untuk ibu hamil.. Dia sampai sudah mencetak undangan segala. Rencananya baby shower itu bakalan kecil aja karena ya memang saya tidak punya banyak teman di kampung itu. Hanya akan mengundang teman-teman kantor Pak Mantan dan keluarga teman saya itu.
Tapi rencana tinggal rencana karena waktu jadwal kontrol kehamilan ke 30 minggu saya ditahan dokter kandungan. Ada sesuatu yang nggak beres tapi mereka butuh waktu agak lama untuk ngasih tau apa sebenarnya masalahnya. Cukup stress rasanya tapi hasil awal pemeriksaan: tekanan darah saya sangat tinggi, melonjak melewati batas kenormalan dan dokter kandungan minta saya periksa lab tapi saya harus dirawat untuk observasi ketat.
Ternyata saya kena severe preeclampsia sebuah kondisi hipertensi akibat kehamilan. Hasil lab menunjukkan ginjal saya membocorkan protein. Saya berusaha untuk tenang walaupun dalam hati sebenarnya sangat ketakutan.
“Apakah ini hukuman dari Tuhan karena waktu tahu hasil USG kalau bayi kita laki-laki saya malah nangis?” saya terisak nanya sama Pak Mantan. Kami memang sangat pengen punya bayi perempuan waktu itu dan saya sempat kecewa waktu tahu ternyata saya mengandung bayi laki-laki.
“No! Nggak kok…udah jangan banyak pikiran nanti tensi kamu nggak turun-turun.” Pak Mantan coba menenangkan saya.
Saya dirawat dan bedrest total hanya boleh turut kalau mau ke toilet itu pun harus ditemenin karena dokter saya takut saya jatuh. Beliau sangat khawatir dan di hari kedua setelah tekanan darah saya nggak turun-turun dia bilang kalau sampai hari ketiga tensi saya nggak turun juga saya harus di medivac (medical evacuation) ke kota besar terdekat karena fasilitas RS tempat saya di rawat tidak bisa menangani bayi prematur 30 minggu. Ibu dokter itu ternyata harus ke luar kota karena ada conference jadi saya ‘dititipkan’ ke dokter lain yang namanya Dr. Richards dengan wanti-wanti kalau hari ketiga tekanan darah saya tidak turun juga saya harus segera dikirim ke kota Montgomery, Alabama untuk emergency Caesar.
Jantung saya rasanya drop ke dasar perut.
Beruntungnya, Dr. Richards ini auranya kalem banget. Beda sama dokter kandungan saya yang pertama. Beliau malah menyemangati saya dan bilang “We will get through this! I will make sure you and your baby will be ok. Trust God, trust me. I’m here to do anything I can.” Dia nepuk-nepuk tangan saya sementara saya hanya bisa nangis di tempat tidur. Saya sempat disuntik steroid yang diharap bisa membantu percepatan pertumbuhan paru-paru bayi karena di usia kandungan 30 minggu, biasanya paru-paru belum berkembang secara sempurna.
Panik, saya nelfon keluarga di Indonesia. Saya perlu dukungan doa mereka. Bertangis-tangis saya dan Mama saya di telefon. Suara Papa saya penuh kekhawatiran tapi beliau juga berusaha tegar.
Kekuatan doa itu memang luar biasa!
Hari ketiga, tekanan darah saya turun.
Dr. Richards nampak puas karena saya batal ‘dikirim’ ke Montgomery. Saya malah diijinkan pulang ke apartemen kami dengan catatan saya wajib bedrest. Ya, harus istirahat total! Sekali lagi hanya boleh ke toilet doang. Dr. Richards manggil saya “My miracle patient” karena saya sama sekali tidak punya tanda-tanda severe preeclampsia yang lazim ada seperti kaki bengkak (karena memendam air), pusing-pusing, pandangan kunang-kunang. Indikator saya terkena severe preeclampsia hanya hasil tekanan darah yang terlalu tinggi dan hasil tes urin yang mengandung protein.
5 minggu setelah itu saya benar-benar bosan ‘terpenjara’ di tempat tidur. Saya hanya keluar rumah untuk kontrol ke Dr. Richards (saya akhirnya mutusin untuk ganti dokter dan jadi pasien Dr. Richards aja). Saya diawasi dengan sangat ketat dan wajib USG seminggu 2 kali untuk memastikan kondisi bayi aman.
Babyshower saya terpaksa dicancel.
Masuk minggu ke 35 kehamilan, di jadwal kontrol saya Dr. Richards bilang kalau tekanan darah saya seminggu belakangan makin meningkat dan karena saya nggak ngerasain gejala apa-apa dokter saya jadi tambah khawatir. Kata beliau, kalau kita paksakan untuk genap 40 minggu, dia takut saya bisa terkena kejang at any time karena tekanan darah yang sudah terlalu tinggi. Bedrest nggak mampu lagi menurunkan tekanan darah saya.
“We can lose your baby, or even you if we keep forcing this…” mukanya kelihatan sangat khawatir waktu bilang ini dan saya langsung lemas. “Pembuluh darah kamu bisa pecah…” air mata saya langsung tumpah.
“Jadi apa yang harus kami lakukan Doc?” Pak Mantan yang bertanya karena saya keburu nangis terisak-isak takut bayi saya kenapa-kenapa.
“Kita jadwalkan saja emergency c-section sore ini. Jam 5 gimana?”
Saya panik. Jam 5 sore itu juga? Emergency Caesar? Rasanya kepala saya langsung muter saat itu.
“Kamu bisa istirahat di kamar atau mau pulang untuk ambil baju?” si dokter nanya dengan muka khawatir.
“No! Saya mau ikut suami saya pulang…kita nggak punya baju bayi untuk premature…” tangis saya pecah. Pak Mantan hanya bisa merangkul pundak saya.
“Okay, kamu boleh pulang tapi jam 3:30 sore kamu harus sudah di kamar untuk persiapan operasi.”
Kami nggak langsung pulang, tapi kami mampir ke Walmart (supermarket besar di sana) untuk nyari beberapa baju bayi ukuran prematur. Di sana baju bayi memang ada khusus ukuran untuk bayi-bayi prematur.
Waktu ngantri di kasir, si Ibu Kasir dengan ramah (orang di sana emang ramah suka banget ngobrol) dengan santai nanya “When is the baby due?” (Kapan lahirannya?) Saya pandang-pandangan sama Pak Mantan lalu ngakak berdua sambil dia jawab “Sore ini jam 5!” Kami buru-buru keluar setelah mengucapkan terima kasih ke si Ibu Kasir.
Pulang ke apartemen, Pak Mantan langsung nyuruh saya rebahan lagi. Dia yang mengepak barang-barang untuk kami bawa ke Rumah Sakit.
Sore itu pukul 17:51 suara tangis bayi laki-laki yang lahir 5 minggu lebih cepat memecahkan ruang operasi yang dingin.
Proses operasinya cukup lama karena ternyata si bayi sedikit lebih besar dari perkiraan dokter sebelumnya jadi kebayang dong ada adegan perut saya ditekan-tekan dari berbagai sisi sampai saya mual dan bayi prematur saya harus divakum.
Kata Pak Mantan anak kami normal, nggak kekurangan apa pun tapi karena dia lahirnya prematur kecepetan 5 minggu, dia harus segera dilarikan ke NICU (Neo-Natal Intensive Care Unit). Bayi saya ‘mondok’ di NICU selama seminggu karena dia sempat kesulitan bernapas sendiri. Saya pun ikut nginap di RS selama itu karena saya kekeuh mau memberi ASI. Duh proses itu lebih sakit daripada bekas operasi caesar! Mungkin nanti saya tulis pengalaman itu di postingan terpisah.
Proses kelahiran yang traumatis, kenyataan saya terkena severe preeclampsia bikin saya ternyata kena postpartum depression (PPD). Tapi waktu itu saya nggak tau perasaan nggak enak itu punya nama. Jadi sayangnya, saya nggak dapat bantuan yang saya butuhkan waktu itu. Again, pengalamanan PPD saya akan kepanjangan kalau saya tulis sekarang, I’ll share later.
Sekarang bayi itu hampir genap berusia 14 tahun…