Kalau kemarin saya share tentang Pengalaman Operasi Histerektomi dan Proses Pemulihan Pasca Operasi Histerektomi, hari ini saya tergerak untuk nulis soal merawat “luka emosional”.
Merawat “Luka Emosional” Pasca Histerektomi
Kalau sebelum operasi fokus saya hanya terpusat pada bagaimana bisa melalui operasi besar dengan kondisi badan yang terdiagnosa Diabetes tipe 2, saya sedikit ‘melupakan’ sisi “luka emosional” yang ternyata mengintai di balik operasi histerektomi.
Luka emosional ini sebenarnya bukan istilah medis ya, ini hanya dua kata yang saya rasa cukup tepat untuk mewakili perasaan saya.
Walau pun di awal sempat shock mendengar vonis dokter kandungan kalau semua rahim saya harus diangkat, saya nggak betul-betul siap untuk menghadapi terjangan perasaan yang naik turun setelah operasi.
Sampai suatu hari beberapa minggu pasca operasi sahabat saya bertanya “How are you feeling, bok?” dan saya kelabakan untuk menjawab pesan di WhatsAppnya itu. Saya hanya bisa ngasih emoji menangis.
I was a mess.
Kenapa? Mungkin karena faktor operasi yang memporak-porandakan hormon di badan saya. Lalu ada kesedihan teramat sangat yang menyergap saya ketika fakta bahwa saya tidak akan pernah lagi bisa memiliki bayi benar-benar sinking in.
Iya, saya emang Ibu Tunggal. Saya bersyukur sudah dikaruniakan anak laki-laki terbaik hampir 16 tahun yang lalu. Tapi duluuuu saya masih punya impian bisa suatu saat nanti menimang bayi lagi. Dulu saya sempat sangat rindu punya bayi cewek.
Tapi saya sadar, saya single mom yang jomblo akut (dah lah, apaan itu love life? Hahaha). Usia saya juga sudah nggak muda lagi.
Dulu saya pikir setelah pertunangan saya bubar jalan, saya udah baik-baik saja dengan kenyataan saya mungkin nggak akan bisa punya bayi lagi. Kenapa? Ya karena status single akut itu tadi dan saya juga nggak lagi pengen buru-buru menikah. Saya pikir saya sudah menerima ‘takdir’ saya itu dan tetap fokus ngejalanin hidup sebaik saya bisa aja.
Tapi pasca operasi…saya menangis melihat bekas operasi saya yang masih bengkak…mengelus perut saya perlahan dan mbatin “I will never feel another life form inside of me…” dan hati saya hancur berantakan.
Ada kesedihan teramat dalam yang menggulung seluruh raga saya. Rasa yang sejujurnya tidak siap saya hadapi.
Anak saya nggak akan pernah merasakan jadi Kakak. Saya nggak akan pernah lagi bisa merasakan ‘tendangan’ dari dalam perut seperti yang dirasakan wanita lain saat hamil.
There’s a painful finality to the fact that I will never be pregnant ever again.
Sebetulnya 9 tahun lalu, dokter kandungan juga sudah mewanti-wanti saya. “Ibu nggak bisa hamil lho kalau miom-nya nggak diangkat” tapi saat itu ya saya nggak ada pikiran pengen hamil.
Nah sekarang…
Ngeliat foto bayi aja saya tetiba bisa nangis. Perasaan kacau-balau. Sebelumnya emang anaknya udah mewekan ya tapi sejak operasi duh jadi lebih cengeng tingkat dewa.
Ada kesedihan yang sulit untuk saya ekspresikan.
Selain kehilangan beberapa organ yang sudah hidup bersama saya selama 43 tahun, saya juga kehilangan kesempatan untuk jadi Ibu untuk selama-lamanya.
Dari support group yang saya joined, banyak perempuan yang ternyata mengalami “luka emosional” yang sama jadi paling nggak, sekarang saya tau kalau ini tuh normal dan wajar.
Yang bisa saya lakukan untuk merawat “luka emosional” saya saat ini hanya dengan lebih berwelas asih pada diri sendiri dan berusaha menerima semua gelombang emosi yang muncul. Saya nggak mau menyangkal apa pun rasa yang muncul. Berusaha menerima semuanya dengan tangan dan hati terbuka walau pun kadang perih. Saya juga mengajak diri berdialog. Saya ucapkan terima kasih untuk organ-organ yang harus diangkat karena mereka adalah bagian dari saya dulunya.
“Terima kasih tubuhku…sudah bertahan selama ini…cepat pulih ya, sayang.“
wah saya dulu memutuskan untuk diambil rahim sendiri, bahkan dokternya juga sampai kaget. Karena aku juga tahu tentang medis, jadi memang aku tahu memang lebih baik diambil daripada di kuret. Jadi karena kemauan sendiri. gak pernah punya perasaan emosi bagaimama karena memang sudah siap lahir dan batin. Banyak orang yang takut akan bagaimana2 tapi ternyata gak ada efek yang berarti
Peluk mba Maureen 🤗. Tau banget yang dirasain. Krn mamaku setelah rahimnya diangkat, juga sempet merasakan yg sama. Bukan Krn sedih ga punya anak ya, Krn anaknya toh udh 4. Tapi mama sedih karena memikirkan menopause lebih cepet, akan banyak masalah sakit tulang setelah itu dll. Mungkin Krn banyak info2 yg ga jelas, jadi mama kepikiran. Tapi dengan kami Deket dan KSH support ke mama, akhirnya mama bisa terima dan balik ceria lagi 😊