“Iih dia kan janda bok!”
“Memangnya kenapa kalau janda Mas? Saya calon janda.”
Percakapan di atas ini tidak akan pernah saya lupakan karena itulah untuk pertama kalinya saya merasakan bagaimana negatifnya konotasi yang melekat di status “janda”.
Emangnya kenapa kalo janda?
Emangnya kenapa kalo single mom?
Ada dua jenis janda, janda karena bercerai dan janda karena ditinggal suami meninggal. Masyarakat kita umumnya menunjukkan empati lebih besar untuk janda yang kehilangan suami akibat kematian asementara stigma negatif kerap diberikan pada janda cerai. Pandangan sinis, gunjingan, omongan-omongan miring ini datangnya juga bisa dari kaum pria atau wanita.
Harus diakuin emang untuk istilah “janda” ini muatan negatifnya tinggi banget yah. Yang terbayang di kepala saya saat mendengar kata ini adalah wanita 30-an yang bahenol dan menggoda suami orang. Parah yah? Dari mana datangnya kalau bukan dari film-film Indonesia jaman baheula yang menggambarkan janda sebagai kaum penggoda dengan busana minim dan kaum yang berbahaya.
Janda tidak selalu punya anak jadi untuk tulisan ini saya lebih berat ke single mom aja yah apalagi karena status saya janda satu anak. Mungkin karena pengaruh stigma itu sendiri saya rasanya jengah menyebut “janda”.
“Mending gw paksain tetep kawin daripada jadi janda.” Dan variasi kalimat seperti ini banyak saya dengar atau dengan cara yang lebih halus “Kasian anak-anak kalau gw cerai.”
Sepertinya urusan kebahagian batin, ketenangan jiwa harus jadi korban. Maaf, saya tidak bermaksud menghakimi tapi cukup prihatin mendengar cerita-cerita unhappily married women. Yang merasa terpaksa stay hanya karena tidak mau jadi bahan omongan atau menjadi aib bagi keluarga.
Memutuskan untuk bercerai itu hal serius. I understand it. It took me 2 years to finally say enough is enough.
Keluarga menerima ‘kepulangan’ saya yang sangat dramatis itu. Tapi sebagai orang tua awalnya mereka tetap berharap saya dan mantan suami bisa work things out demi anak. Butuh waktu buat orang tua untuk bisa menerima keputusan saya untuk bercerai dan setelah mereka bisa menerima maka langkah saya terasa lebih ringan. Sepertinya mendapatkan ‘restu’ untuk bercerai itu sangat penting buat saya. Walaupun saya tahu mereka pasti kecewa karena orang tua mana sih yang pengen anaknya bercerai.
Di masa goncang saya, di tengah kebingungan harus bagaimana saya nurut saja saat di ‘seret’ ke kantor salah satu pengacara top di Jakarta. Katanya sih klien Ibu ini ada yang artis juga padahal saya nggak peduli karena yang saya cari saat itu adalah legal advice.
Tau nggak sih tanggapan si Ibu saat saya mengangis tersedu-sedu sambil menceritakan kejadian penyebab saya keluar dari apartemen di ruang meeting beliau yang mengkilat kinclong itu? Saya dibegon-begoin! Asli! Nggak bohong. Kurang lebih omongan si Ibu Pengacara Hebat itu seperti ini: “Kamu bego banget sih kenapa keluar rumah?!” Emosinya tinggi si Ibu “Begini nih begonya perempuan-perempuan Indonesia. Kalau ada apa-apa jangan pernah keluar dari rumah!!!” Ibu Pengacara masih berkicau tapi saya sudah tidak dengerin lagi.
Apa saya bego karena meninggalkan apartemen? Mungkin iya. Tapi pada saat itu saya sudah tidak bisa tinggal seatap lagi dengan mantan suami. Apapun itu saya merasa saya di serang, bukan di berikan support yang sangat saya butuhkan. Is that even helpful? No! Saya malah merasa ditampar!
Butuh waktu untuk saya bisa menerima keputusan untuk bercerai ini. Tidak mudah karena anak saya saat itu baru berusia 2 tahun. Saat saya dan mantan suami sudah mantap untuk bercerai pun saya menutup diri dari bertemu dengan keluarga besar. Kenapa? Karena banyak dari mereka yang walaupun berniat baik malah tiba-tiba menjadi marriage counselor saat mereka tahu saya sedang proses cerai menawarkan nasihat-nasihat untuk memperbaiki pernikahan yang sudah hancur lebur. Maksudnya sih baik yah saya ngerti kok tapi tidak membantu.
Pelan-pelan saya belajar menata ulang kehidupan saya yang sudah hancur berantakan rasanya. Saya kembali bekerja setelah nyaris 5 tahun menjadi ibu rumah tangga. Saya harus menjelaskan secara sederhana kepada anak saya kenapa kita tidak bisa ‘pulang’ lagi ke apartemen. Dunia saya hancur tapi saat itu anak yang menjadi motivasi saya untuk bangkit.
Perceraian saya berjalan lancar. Hubungan saya dan mantan suami sekarang pun sudah baik. Kami setuju untuk kerjasama dalam membesarkan anak kami. Co-parenting adalah pilihan kami dan hak asuh pun kami bagi jadi 50:50.
Saya sudah mencari support group untuk single moms sejak pertama kali saya ninggalin mantan suami tapi tidak ketemu. Lewat acara lauching buku The Single Mom, saya pun mulai berkenalan dengan lebih banyak single moms di Jakarta. Bertemu dengan teman-teman ‘senasib’ ini lah yang membuat kita sepakat untuk membuat support group. Maka lahirlah Single Moms Indonesia di Facebook dengan secret group khusus untuk member.
Sayangnya gaung buku The Single Mom yang tadinya saya harapkan lebih besar lagi cepat sekali redup padahal banyak loh single mom di Indonesia ini. Saya tidak tahu apakah karena pengaruh pandangan negatif masyarakat yang membuat seolah-olah menjadi single mom adalah sesuatu yang sangat memalukan yang membuat banyak single moms jadi malu?
[Tweet “Kenapa harus malu jadi single mom?”]
Kenapa harus malu?
Menjadi single moms itu kadang rasanya seperti menjadi super hero!
Saya beruntung di bantu oleh keluarga dan mantan suami tapi ada banyak single moms di luar sana yang sukses kok membesarkan anak-anaknya sendirian tanpa bantuan keluarga apalagi mantan suami. Untuk single moms ini…I salute you, ladies!
So, para single moms…ayo jangan malu, jangan berkecil hati apalagi minder yah. Happy moms = happy children loh.
waah, pasti awalnya beraat banget yah Mbak,
Iya ya, pandangan negatif dari kata ‘janda’ itu berawal dr film2 jadul dan tetep melekat sampai sekarang..
Tapi aku setuju, single mom itu seperti pahlawan 😀
Semoga menginspirasi banyak Ibu yang harus menjadi single mom^^
Makasih banyak komennya ya mbak Ranii 🙂 Sebagai single mom saya seneng banget kalau ketemu dengan teman-teman baru yang tidak memandang kami single mom dengan sebelah mata malah memberikan support seperti mbak.
Terima kasih ya mbak.
Halo mba, salam kenal ya 🙂
Sejujurnya, aku pun lebih suka mendengar ‘single mom’ atau ‘single parent’ daripada Janda! Kl dengar janda itu agak gimana ya, ngebayanginnya langsung perempuan penggoda –__–‘
Semangat ya mbak, aku selalu salut sama wanita-wanita yang mau memperjuangkan hidup anaknya meskipun tanpa pendamping.
Aiih… Aku lernah loh jd single mom 😀 stres iya, depressi mungkin lbh tepatnya. Proses memutuskan utk cerai emg gk mudah, yg tiba2 jd “konselor” jg banyak. 😀 1 sosok yg menjd tmp paling jyaman buat sy justru dosen sy yg salahbsatu gelar sarjananya adlh psikologi. Dia gk kasih saran, cuma memberi cerita nyata ttg hidupnya dan membiarkan sy merenung mengambil hikmah. Di akhir cerita beliau bilang demikian “kamu bebas memilih, mau berjiwa besar demi anak-anak seperti yg ibu sy lakukan dulu, atau mengambil hakmu utk bahagia. Jgn tanya sy apa yg terbaik buatmu, krn tak elok buat sy menyarankanmu memeluk duri”
Makasih udah share pengalamannya mak Noe!
Iya nggak mudah banget mba untuk memutuskan berpisah dan setiap kasus itu beda-beda cerita dan alurnya. Nah itu yang bagus yah, teman/pembimbing yang nggak menghakimi atau menyuruh-nyuruh jadi kita bisa mengambil kebutusan sendiri 🙂
ribet y klw org msh meributkan istilah seperti itu…tetap semangat y ibu2
ijin share di blog saya ya mba maureen, salam kenal ^_^