“Mbak, bagaimana menurut Mbak tentang healing journey?”
Hmm…
Berat ya, Bun pertanyaannya hahaha.
Okay, mari kita jadikan blog post saja. Berhubung sudah berdebu blog ini dan ternyata udah hampir 2 tahun nggak saya update.
Menurut saya, perjalanan untuk pulih ya seperti namanya adalah sebuah perjalanan. Seberapa lama prosesnya? Ya seumur hidup.
Nah lho!
Kalau tujuan healing-nya hanya untuk melupakan mantan, percaya deh it doesn’t work that way!
Saya sudah jadi Ibu Tunggal selama hampir 14 tahun. Penuh ups and downs. Nggak selalu mulus. Ada momen di mana saya hanya bisa nangis ke Tuhan dalam doa. Ada masa saya nepuk pundak sendiri dan mengucap terima kasih pada diri yang sudah berjalan sejauh ini.
Tapi, healing itu bukan hanya soal melupakan mantan. Bukan hanya soal menyembuhkan luka batin akibat perpisahan.
Satu hal yang sadari dalam proses healing saya – yang sepertinya akan berkelanjutan seumur hidup adalah: healing is a lifetime journey. Sebuah perjalanan seumur hidup. Ibarat diberikan bawang Bombay besar. Saya harus mengupas lapisan demi lapisan trauma yang tanpa saya sadari melekat. Entah itu akibat bagaimana saya dibesarkan dalam keluarga. Trauma karena pekerjaan. Trauma dalam persahabatan.
Saya sudah sampai di titik kesadaran bahwa luka inner child saya itu bukan salah orangtua. Tapi saya lah yang bertanggungjawab untuk memulihkannya. My parents tried their best with what they know at the time. Ketika saya menyadari mereka pun adalah hasil didikan kakek-nenek saya dengan segala keterbatasan yang mereka miliki. Ibarat ‘warisan’ ada hal-hal yang menorehkan luka di batin saya dan hal-hal ini perlu saya putuskan.
Nggak adil rasanya untuk terus menyalahkan Ibu saya yang tidak bisa memberikan pelukan ketika saya sedih karena dia pun dibesarkan oleh nenek saya yang tidak bisa melakukan hal yang sama. Yang bisa saya lakukan adalah melepaskan welas asih untuk Ibu juga Nenek saya. Saya memilih untuk memaafkan mereka karena if they know better, they will do better.
Proses ini nggak gampang.
Berat banget!
Seandainya Ibu saya masih hidup, saya pasti akan memeluknya lebih sering.
Ada banyak sekali hal-hal dalam hidup kita yang sebetulnya perlu kita pulihkan.
Mungkin kita merasa sudah baik-baik saja. Tapi percaya deh, akan ada momen kita kecolek dan ambyar. Gunakan momen itu sebagai ‘kode Semesta’ untuk memeriksa ke dalam diri. Mungkin apa yang jadi trigger itu sebetulnya adalah tanda kalau ada hal lain yang perlu kita bereskan.
Dari kecil kita dibesarkan dan dididik sesuai dengan apa yang orangtua kita pahami. Mereka sudah berusaha kok. Kita juga semuanya dipengaruhi kultur budaya yang melekat. Dibesarkan dengan nilai-nilai yang kental di masyarakat kan.
Sekarang, kalau kita sudah lebih berkesadaran dari orangtua, apa yang bisa kita lakukan? Ya, cari cara untuk ‘unlearning’ dan ‘learning’.
Maksudnya gimana?
Jadi gini, ‘unlearning’ menurut saya adalah fase untuk menanggalkan semua preconditioning ideas (prekondisi) yang ditanamkan keluarga atau society dalam hidup kita. Masih inget pesan sponsors jaman dulu tentang perempuan? Dulu saya sering dimarahin Ibu saya: “Perempuan nggak boleh manjat pohon!” (saya kecilnya tomboy abis hahaha dan salah satu hobi saya: manjat pohon) atau “Perempuan nggak boleh ketawa terlalu besar/ngakak.” Dan masih banyak larangan-larangan lain yang akhirnya bikin kita membatasi diri. Ya udah terpaksa menerima dikotakkan oleh nilai-nilai yang belum tentu cocok dengan diri kita yang asli.
Proses ‘learning’ itu adalah tentang bagaimana kita kembali belajar untuk mengenali siapa kita seutuhnya. “Who are you, really?” Di luar titel sematan masyarakat, siapa sih kamu sebetulnya? Perempuan tuh emang nggak hanya di Indonesia aja yang masih kadang kehilangan identitas dan jati diri karena pressure dari keluarga atau lingkungan. Padahal kalau kita mau berjalan ke dalam diri, kita bisa lebih tau siapa sih kita seutuhnya.
Ingat ya, kita tuh lebih dari anaknya Bapak dan Ibu xxx. Kita lebih dari Istrinya Pak xxx. Kita juga lebih dari Ibunya xxx.
Jadi gimana? Rempong ya kan hahaha. Lah emang iya. Life is messy and complicated…and that’s why it’s beautiful!
Tetap semangat berproses ya. Percaya deh, it’s a beautiful thing when you meet your true self.
Pingback: Unlearning – Learning – Re-learning Dalam Hidup - Maureen Hitipeuw