Tulisan ini terinspirasi salah satu komentar di postingan saya yang agak kontroversial berjudul “Surat Terbuka Untuk Istri Mantan Suamiku” yang tayang lebih dari setahun lalu.
Perihal Hak Asuh Anak
Pertanyaan ini cukup mengelitik saya untuk menulis, jadi Vira, terima kasih untuk inspirasinya yah.
Halo mba..
Boleh saya tanya, kenapa anaknya yg super ganteng itu hak asuhnya ga jatuh ke mbak?
Ga bermaksud kurang ajar tp saya bner2 pgn tau. Mba kliatannya cukup mapan utk mengasuh sendiri. Feel free klo dirasa pertanyaan saya terlalu private.
Salam kenal,
Vira
Dear Vira,
Saya jawab pertanyaan kamu dalam bentuk blog post saja yah. Kenapa? Karena sesungguhnya topik ini emang menarik untuk didiskusikan.
Selama terbentuk hampir 3 tahun, di SMI (Single Moms Indonesia) salah satu hot topic yang sering sekali menjadi pertanyaan, perbincangan hingga memancing emosi adalah perihal hak asuh anak. Banyak member yang bertanya bagaimana caranya bisa mendapatkan hak asuh anak secara penuh.
Hmmm…
Ladies, please baca opini saya ini dengan kepala dingin yah. Anggap saja tulisan saya ini sekedar untuk mengajak kita melihat permasalahan hak asuh anak ini dari sisi yang berbeda. A different perspective can actually open our mind.
Okay, menjawab pertanyaan Vira di atas. Kenapa hak asuh anak saya yang ganteng ini tidak jatuh ke tangan saya? Ya karena saya dari awal tidak meributkan hak asuh. Simple as that. Pada saat Pak Mantan dan saya memutuskan untuk bercerai kami sepakat untuk memilih “Shared Custody” dengan saya sebagai Primary Care yang artinya ya si anak mayoritas tinggal dengan saya.
Mari kita kupas dulu yah sebenarnya untuk hak asuh ini ada beberapa jenis tapi saya bahas dari sisi yang saya pahami saja yaitu merujuk ke hukum di Amerika tempat saya menikah dulu. Saya bukan expert dan 2 jenis di bawah ini masih punya pecahan lain yang lebih kompleks juga tergantung hukum negara bagian mana yang digunakan.
Untuk keperluan menyederhanakan topik, kita bahas dua jenis mayoritas hak asuh anak yang berlaku di sana yaitu:
- Sole Custody (Hak Asuh Tunggal) di mana salah satu orang tua mendapatkan ‘ketuk palu’ dari pengadilan untuk memiliki hak asuh tunggal. Biasanya pengadilan tidak segan-segan memberikan putusan ini kepada orang tua kalau orang tua yang satu lagi terbukti ‘unfit‘ (tidak layak) contohnya karena ketergantungan alkohol atau narkoba atau tuntutan melalaikan anak atau menganiaya.
- Joint Custody/Shared Custody ini adalah keputusan untuk bersama-sama memiliki hak legal secara penuh untuk kepentingan anak. Kedua orang tua berbagi keputusan, kewajiban dan/atau kendali perihal anak mereka.
Balik lagi ke keputusan saya dengan Pak Mantan 7 tahun lalu, kenapa saya tidak memaksakan diri untuk meminta hak asuh total? Jawab saya simple sebenarnya “Buat apa?” Waktu kami pisah, anak saya masih kecil dan dia sangat dekat dengan ayahnya. Sehancur-hancurnya hati saya waktu melalui proses perceraian itu, saya tidak mau merampas hak ayah anak saya.
Apa dengan mati-matian memperjuangkan hak asuh (dengan catatan tidak ada keterlibatan narkoba juga KDRT yah kalau itu sudah mengancam nyawa dan keselamatan maka hak asuh tunggal memang jalan terbaik!) saya bisa mengubah kenyataan bahwa perkawinan saya sudah berakhir? Apakah akan ada kepuasan batin tersendiri kalau seandainya saya menang?
Yang ada saya membayangkan betapa banyak energi yang bakal terkuras di dalam persidangan (belum lagi biayanya!). Toh Pak Mantan tidak pernah main tangan sama saya, dia juga bukan pecandu narkoba. Saya mau dia tetap ada dan terlibat di dalam kehidupan anak kami. Dan itu yang kami sepakati bersama. Bersamaan dengan menjalankan co-parenting.
Kasus kami memang berbeda dengan kebanyakan kasus yang saya lihat di SMI. Saya dan Pak Mantan mempunyai arrangements sendiri soal anak yang walaupun tidak selalu berjalan mulus adalah yang terbaik untuk kami bertiga. Dulu saat Pak Mantan masih tinggal di Jakarta, setiap akhir pekan anak saya kebanyakan menghabiskannya dengan menginap di rumah ayahnya. Waktu anak lagi nginep saya jadi punya waktu untuk me-time. Win-win solutions buat kami.
Sedih lho saya kalau melihat bagaimana anak-anak justru cenderung jadi korban ditengah pertempuran orang tua yang sama-sama berebut hak asuh. Segala cara ditempuh buat membuktikan how ugly the other parent is. Pernahkah kita berhenti dan memikirkan bagaimana perasaan mereka kalau melihat atau tahu orang tua yang mereka sayangi (equally loved too!) berantem memperebutkan mereka? Mereka bukan property untuk diperebutkan apalagi digunakan sebagai senjata!
Ladies, saya ngerti bangeeeet yang namanya orang proses cerai itu emosi seperti diaduk-aduk. Semacam naik rollercoaster tapi kita nggak tahu kapan rollercoaster itu bakalan berhenti. Ya kan? Perasaan patah hati berat, depresi sampai amarah dendam kesumat jadi satu semuanya. Wajar!
Banyak sekali hal yang perlu dipertimbangkan sebelum mengejar hak asuh tunggal. Mungkin kita perlu meditasi, perlu banyak-banyak berdoa meminta petunjuk Tuhan sambil menilai secara fair apakah ayah anak-anak kita itu adalah orang tua yang baik atau tidak? Is he really an unfit father? Keputusan apa yang terbaik demi kesejahteraan anak-anak? Apa calon mantan suami KDRT? Pecandu narkoba? Atau si Bapak kabur begitu saja tanpa jejak? Apa dia ada niat baik untuk tetap hadir di dalam kehidupan anak setelah berpisah? Atau sebenarnya keinginan punya hak asuh tunggal ini karena kita pengen ‘menghukum’ si calon mantan yang macam-macam?
Jawabannya hanya ada di dalam diri kalian masing-masing yah. I cannot tell you what to do other than be kind to yourself throughout the process.
Semoga jawaban saya cukup memuaskan rasa penasaran Vira (juga teman-teman lainnya) yah.
Sayangnya persoalan hak asuh di Indonesia memang masih sangat butuh banyak pembenahan dan pengetatan dari badan hukum. Semoga suatu hari nanti Indonesia bisa seperti negara lainnya, di mana hak asuh anak dianggap sebagai hal yang crucial dan pengadilan bisa memiliki cara untuk meng-enforce putusan pengadilan soal tanggung jawab ayah terhadap anak-anaknya.
Kalau kalian gimana, ladies? Silahkan lho kalau mau komentar atau share sudut pandang yang berbeda.
Waw.speechless.pertanyaan saya dijawab lengkap 😀
Thanks a bunch for sharing with us mba.tetaplah produktif menulis karna tulisan mba sedikit banyak jd pelampung buat single moms diluar sana yg seharian kepalanya sudah tenggelam keberatan beban pikiran 🙂
smoga suatu saat sy bs punya hubungan yg baik dgn sesematan sehingga bs shared custody dgn baik kayak mba.walaupun sekarang keliatannya ga mungkin.
Thanks for having me
topik yang berat, aku belum tentu mampu seperti mbak jika mengalami hal yang sama
menurutku keputusan yang mbak udah ambil sangat bijak. Sehingga anak mbak tetap mendapat co-parenting sehingga akses kedua orang tua kandung sang anak tidak terputus dan masih dapat mengasuh bersama. Seperti yang mbak bilang win-win solution untuk kedua belah pihak,
Kalau dapat hak asuh tunggal apakah pihak satunya nggak dapat akses kepada sang anak?