Soal Nyari Kerja Sebagai Ibu Tunggal

Tulisan ini terinspirasi dari hasil ngobrol hari ini di dalam salah satu WhatsApp Group Single Moms Indonesia (SMI).

Salah satu member membagikan pengalaman nggak enak karena proses interview kerjaan dia yang berujung pewawancara malah seperti meremehkan status sebagai single mom.

Sigh…

Jaman sudah mendekati akhir 2020…tapi memang sedihnya itu lah potret nyata diskriminasi di beberapa perusahaan di Indonesia terhadap Ibu Tunggal. Masih aja ada.

Kami saling menguatkan, saling mengingatkan bahwa kalau memang perusahaan itu tidak bisa menerima Ibu Tunggal ya tandanya belum jodoh.

Lagi-lagi kami yang harus menguatkan hati masing-masing untuk terus berdiri tegap di tengah ketidakadilan juga budaya diskiminatif yang memang suka tidak suka masih sangat kental di Indonesia.

Saya jadi inget…berapa banyak job interview yang harus saya lewati di masa-masa awal berusaha bangkti pasca perpisahan. Butuh waktu 8 bulan bagi saya untuk bisa dapat kerjaan baru setelah pisah dengan Pak Mantan (pisah yah, proses cerai belum beres waktu itu).

Proses itu sangat-sangat tidak enak. Apalagi waktu itu saya sudah 5 tahun meninggalkan dunia kerja karena menikah. Jadi sudah pasti ada gap di dalam CV kan. Sering banget orang HRD yang bertugas interview mempermasalahkan hal ini yang menurut saya konyol karena apa yang salah dengan memutuskan untuk jadi Ibu Rumah Tangga?

Pekerjaan saya sebelum nikah itu adalah sekretaris. Kebayang kan apalagi di Indonesia, posisi ini adalah salah satu yang masih banyak fokus pada penampilan menarik. Dua kata yang sejujurnya bikin saya kesel karena seolah-olah sekretaris itu hanya dilihat dari penampilan saja padahal isi otak lebih penting.

Pengalaman paling ngeselin itu waktu saya interview direct sama user, beliau adalah owner dari perusahaan besar di Jakarta dengan cabang di mana-mana. Ngobrol di awal semuanya lancar sampai dia ‘tiba’ di kolom marital status (di application yang wajib saya isi memang ada bagian itu dan saya jujur nulis ‘divorced’).

Percakapannya kurang lebih seperti ini:

“Sudah berapa lama cerainya?”

“Masih proses Pak.”

“Oh kamu dulu pernah tinggal di Amerika? Di mananya?”

“Iya Pak…di New York dan Alabama.”

“Masih punya greencard nggak?” Saya mulai nggak nyaman karena pertanyaan itu nggak ada hubungannya sama posisi Executive Secretary yang saya lamar juga.

Setelah saya jawab singkat malah beliau merambat mengomentari hal-hal tidak relevan sama sekali dan pertanyaan beliau sudah masuk ranah pribadi. Ngapain nanya kenapa saya cerai coba?

Setenang mungkin saya tarik napas dan memutuskan kalo pekerjaan ini bukan buat saya. Lalu saya bilang “Thank you for your time, but I don’t think your company is the right place for me…”

Si Bapak kaget karena nggak nyangka saya akan ngomong gitu. Tapi ya sudah lah saya permisi tapi ada perasaan bangga luar biasa karena I don’t have to put up with that shitty interview. Rasanya emang emosi tapi bangga karena saya bisa standing up for myself walau pun kondisi saya sedang butuh banget kerjaan.

Nggak lama setelah interview itu saya dapat pekerjaan di salah satu perusahaan kontraktor dari luar negeri yang sangat menghargai status saya sebagai single mom. Dari awal proses status saya nggak pernah jadi masalah malah anak saya dapat tunjangan kesehatan juga. Di perusahaan itu saya benar-benar dihargai sebagai karyawan. Yang dinilai kinerja saya, bukan penampilan.

Semoga sih ya semakin ke sini semakin banyak perusahaan yang ngasih fair opportunities untuk semua kalangan tanpa mandang marital background lagi.

Tapi sambil nunggu perubahan itu terjadi apa yang bisa kita lakukan sebagai Ibu Tunggal?

Ini tips dari saya:

  1. Develop your skillset and knowledge! Jangan lelah belajar dan terus meningkatkan kapasitas diri. Dengan begitu kita akan punya nilai lebih yang dapat ditawarkan ke calon employer.
  2. Be proud of yourself! Jangan salah, single moms itu adalah manusia-manusia tangguh yang jago multitasking dan tahan banting. Berbangga lah sama diri sendiri. Jangan minder hanya karena status pernikahan.
  3. Be Professional! Lakukan pekerjaan kita secara profesional. Jangan membawa masalah dari rumah ke kantor (begitu pun sebaliknya!). Fokus dalam bekerja dan tunjukkan ke perusahaan bahwa kita karyawan yang adalah aset untuk mereka.

Kalau pengalaman kamu gimana? Share di kolom komentar yuk.

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *