Menyambung blog post saya sebelumnya Tentang Healing Journey, ternyata sempat jadi bahan diskusi ringan yang menginspirasi di dalam WhatsApp grup C3 Land.
Sebuah komen dari Herry Fahrur Rizal menginspirasi saya untuk melanjutkan tulisan ini. Thank you for the inspiration, Kang!
Anyway, Herry mentioned tentang re-learning dan setelah saya renungkan bener juga ya. Ternyata saya sebetulnya sudah melakukan re-learning. Mari kita bahas.
Fase Unlearning:
Fase unlearning dalam hidup saya itu adalah perjalanan dimana saya dengan sadar memutuskan untuk menanggalkan semua nilai yang sempat saya percaya sebelumnya.
“Perempuan cantik itu yang kulitnya putih.”
“Perempuan cantik itu yang kurus, mungil.”
“Perempuan cantik itu yang punya rambut lurus mengkilat seperti iklan shampoo.”
Ayo, ngacung siapa yang sempat termakan standar kecantikan Indonesia seperti ini? Saya ngacung banget!
Dulu saya melakukan banyak ‘kebodohan’ karena merasa wajib banget ngikutin standar nggak masuk akal ini.
Saya si anak daerah yang pindah ke Jakarta untuk sekolah di sebuah SMA Katolik sudah langsung merasa jadi ‘outsider’ karena teman-teman anak kota yang cantik-cantik (beberapa malah ada yang model gadis sampul pada masa itu). Apalagi dulu jaman kuliah teman saya 90% perempuan yang cantik-cantik. Makin insecure, Kak! Hahaha.
Bibit insecure-nya ini sebetulnya sudah tertanam dari saya kecil. Mama saya orang Manado. Kulit beliau putih, rambutnya lurus. In my eyes, she’s always so pretty. Beda jauh sama saya. Saya emang lebih mirip Papa yang orang Ambon, berkulit gelap dan rambut kriwil. Dari kecil saya selalu jadi bahan becanda “Ketuker di rumah sakit ya kamu?” lalu dibanding-bandingkan dengan adik-adik saya yang penampakannya kayak bule. Hampir semua cowok-cowok di keluarga Mama saya itu kayak blasteran jadi emang udah dari sononya.
Tapi bersamaan dengan healing journey saya tersadar, mau sampai kapan pun saya tetap lah “Nona Timur” yang nggak mungkin bisa punya rambut lurus itu. Jadi bodo amat deh sama standar kecantikan nggak masuk akal itu!
Perlu waktu hampir 35 tahun untuk saya bisa ‘berdamai’ dengan rambut saya yang ya begini lah. Kadang kriwilnya ok, kadang ya suka-suka dia aja bentuknya gimana hahaha. Kalau urusan warna kulit saya sudah meng-embrace my tanned skin dari lama malah justru senang kalau habis dari pantai karena kulit pasti makin coklat. Eksotis menurut saya.
Proses untuk menerima diri seapa-adanya itu memang butuh waktu. Butuh momen unlearning.
Ingat ya, unlearning is not forgetting. Unlearning only happens consciously
Fase Learning
Di fase ini saya merasa perlu lebih banyak belajar bagaimana memperlakukan diri sendiri dengan welas-asih.
Dulu, dialog internal saya tuh jelek banget. Siapa yang relate? Salah dikit saya bisa ngata-ngatain diri sendiri. “Bego banget sih lo!” jadi kalimat yang dulu sering saya ucapkan dalam hati. Kalau dipikir-pikir gila banget ya kenapa saya bisa baik sama orang tapi jahat banget macam film Ibu Tiri jaman dulu ke diri sendiri.
Setelah belajar tentang bagaimana mencintai diri sendiri, memaafkan kebodohan-kebodohan kesalahan masa lalu saya jadi lebih bersahabat sama saya si Oyen (nama panggilan) yang sadar masih harus banyak belajar dalam hidup ini.
Bikin kesalahan? Ya, wajar karena kan nggak ada buku manual yang pakem dalam hidup ini. We never experience this life at this stage before so it’s normal that we make mistakes along the way. Yang lebih penting tuh bukan lagi soal mencaci-maki diri sendiri tapi soal bagaimana memeluk diri sendiri sambil bilang “It’s okay! We will learn from this and grow.”
Di titik ini – yang masih berlanjut sampai sekarang – saya juga jadi banyak belajar ilmu baru soal inner works. Tentang growth mindset. Personal development dan ilmu-ilmu lainnya. Belajar itu kan nggak kenal umur ya jadi jangan pernah malu belajar hal baru. Saya sering jadi yang paling tua dalam kelas hahaha tapi ya udah nggak ngaruh sih, malah senang bisa nambah ilmu.
Fase Re-learning
Nah, menurut saya seperti omongan Herry, re-learning ini juga adalah bagian dari perjalanan hidup yang perlu kita embrace.
Ngapain aja sih di fase ini?
Kalau saya pribadi ada banyak aspek dalam hidup yang perlu saya pelajari ulang. Contoh sederhana: Menerima pujian.
Dulu saya sangat nggak nyaman kalau dipuji orang. Selalu ada rasa “Masih banyak yang lebih keren dari saya kok” alias I don’t deserves this acknowledgement. Sebetulnya itu bibitnya adalah karena dulu saya kurang menghargai diri sendiri. Self worth saya dulu anjlok banget karena banyak trauma dalam hidup. Nggak merasa layak dapat pujian pokoknya. Saya dulunya amat sangat nggak percaya diri. Plus emang anaknya introvert ya udah lah kombinasinya bikin makin sulit terima pujian hahaha.
Nah pelan-pelan, saya belajar menerima pujian dengan nggak lagi mengecilkan hal yang di puji. Dulu seringnya jawaban saya “Makasih, tapi it’s nothing kok. Masih banyak yang lebih bagus lho. Bla bla bla” (insert segala macam kaliat-kalimat deflecting lainnya).
Butuh waktu untuk merasa nyaman dan tetap rendah hati dalam menerima pujian.
Re-learning dalam merangkul komunitas juga berlaku di sini. Dulu saya pikir setiap anggota yang gabung di SMI itu sudah siap untuk pulih. Tapi ternyata nggak. Di sini saya belajar ulang tentang betapa personalnya healing journey itu.
Ngurusin SMI hampir 10 tahun banyak hal tentang community management yang harus saya pelajari ulang. Kenapa? Karena dunia komunitas itu terus berkembang
Jadi intinya apa? Intinya fase kehidupan ‘learning’, ‘unlearing’ dan ‘re-learning’ adalah siklus yang berkelanjutan dan butuh kemampuan kita untuk bisa beradaptasi dan berpikiran terbuka.
Apa pun proses yang sedang kamu jalani saat ini, fokus aja ya. Set your intentions to focus on your own journey. Nggak perlu membandingkan diri dengan orang lain. Nanti malah jatuh dalam ‘comparisson trap’. Lebih baik bandingkan progress kamu dengan dirimu yang dulu. Periksa ke dalam sudah seberapa jauh kamu berproses dan melangkah.
Semangat!